![]() |
|
![]() |
Sign Up Singkat dan Mudah
|
Sign Up Privasi Anda Kami Jaga |
Selamat Datang di Rumaruma! Cek Kotak Masuk Anda untuk Verifikasi E-mail Kami telah mengirimkan e-mail ke dengan link verifikasi. Jika Anda tidak menerima e-mail dalam 2 menit, klik Kirim Ulang. Mohon pastikan e-mail tidak masuk ke folder Spam / Junk. |
Selamat Datang di Rumaruma! Akun Anda Sedang Kami Verifikasi Terima kasih telah mendaftarkan diri Anda dalam situs kami. Admin kami sedang melakukan verifikasi terhadap akun Anda. Mohon menunggu hingga maksimal 1 X 24 jam. Sembari menunggu, Anda dapat melihat-lihat listing yang sudah terdaftar di situs kami. |
![]() |
Buat Listing Pilih Tipe Properti yang Anda Inginkan
Klik Salah Satu Gambar untuk Melanjutkan |
![]() |
Kriteria Listing Ikuti Panduan Berikut untuk Memastikan Kualitas Listing Anda
|
Listing Properti dalam 3 Tahap Dapatkan Penghasilan Tambahan dari Verifikasi Listing
|
Kami ingin tahu pendapat Anda |
![]() Apakah listing Anda telah terjual? |
Sengketa lahan yang melibatkan salah satu pengembang terbesar tanah air dan pihak berinisial RG atas kepemilikan rumah di Bojong Koneng, Kabupaten Bogor kiranya menjadi pengingat dan pelajaran bagi kita semua bahwa mengantongi sertifikat kepemilikan atas properti, baik berupa tanah maupun bangunan rumah sangatlah penting.
Ahli Hukum Pertanahan Eddy Leks menjelaskan, dalam hal kepemilikan tanah menjadi kewajiban setiap orang untuk mendaftarkan hak atas tanah kepada Pertanahan (Kantah). Sertifikat tanah kemudian akan diberikan dan dapat dijadikan “bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”, ucap Eddy sebagaimana dilansir dari Kompas.com.
Kembali menegaskan, Eddy berurai bahwa sertifikat merupakan satu-satunya dokumen kepemilikan terhadap hak atas tanah yang diterbitkan pemerintah. Oleh karena itu, keberadaan dokumen lain di luar sertifikat tanah tidak dapat disamakan.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan pihak yang mengantongi sertifikat HGB? Apakah sertifikat tersebut dapat menjadi hukum yang kuat?
Secara pemahaman, sertifikat HGB merujuk pada kepemilikan bangunan saja, sedangkan tanahnya masih sah dikuasai oleh pemilik sebelumnya. Meski sudah menggunakan atau tinggal di bangunan tersebut bertahun-tahun lamanya, rumah yang berstatus sertifikat HGB tetap tidak memiliki kepemilikan yang mutlak. Dengan kata lain, rumah secara hukum masih dimiliki oleh pemilik sebelumya meski telah terjadi transaksi pembelian.
Sulitnya lagi, sertifikat HGB bersifat sementara karena ia hanya mengatur izin menggunakan properti, bukan memiliki. Berbeda dengan sertifikat hak milik yang sifat hukumnya mutlak dan selamanya, masa penggunaan yang diatur oleh sertifikat HGB biasanya sekitar 30-40 tahun. Setelahnya, pemilik dengan sertifikat HGB wajib memperpanjang untuk terus dapat menggunakan bangunan.
Sebab itu, sebelum memutuskan untuk membeli rumah, kenali dulu jenis sertifikatnya dan pahami apa saja kerugian jika rumah berstatus SHGB.
Selain itu, sangat dihimbau untuk segera mengurus peningkatan SHM saat AJB sudah dirilis sehingga rumah memiliki sertifikat sendiri atas nama pemilik barunya. Jika membeli dari developer, biasanya pembeli langsung dibantu peningkatan hak menjadi SHM setelah dilakukan AJB. Namun, tak jarang developer mempersilahkan konsumen sendiri yang mengurus peningkatan hak tersebut.